RADAR BLAMBANGAN.COM, | Labuan Bajo, Manggarai Barat – Keluarga besar almarhum Haji Ibrahim Hanta (IH) dan almarhumah Siti Lanung (SL) menggelar ritual adat dan doa suci di atas tanah warisan seluas 11 hektar di Keranga, Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT). Ritual ini menjadi perlawanan simbolis terhadap klaim mafia tanah yang disebut telah merampas hak keluarga.
Yakobus Syukur, tokoh adat yang memimpin ritual, menyatakan bahwa doa dan ritual ini melibatkan jiwa para leluhur. “Mereka (para almarhum) kini bersama Tuhan. Kami memohon agar mereka membantu melawan pihak-pihak dzalim yang mencoba mencuri tanah keluarga ini,” katanya.
Yakobus menjelaskan, tanah tersebut telah dimiliki keluarga almarhum IH sejak 1973 melalui hukum adat yang disebut kapu manuk lele tuak. Almarhum IH dan istrinya SL tinggal dan bercocok tanam di lahan itu hingga wafat pada 1986. Pengelolaan lahan kemudian diteruskan oleh anak mereka, almarhum Nadi Ibrahim (ND), hingga munculnya klaim ilegal pada tahun 2014.
Menurut Yakobus, konflik dimulai ketika Nikolaus Naput (NN) mengklaim memiliki 40 hektar tanah di lokasi tersebut dan menjualnya kepada seorang pengusaha Jakarta, Santosa Kadiman (SK), yang diketahui ingin mendirikan Hotel St. Regis. Bahkan, sertifikat tanah atas nama anak NN muncul tanpa sepengetahuan keluarga almarhum IH.
Dalam proses hukum, keluarga almarhum IH berhasil membuktikan kepemilikan sah tanah tersebut. Namun, NN dan SK terus melakukan banding, meski Satgas Mafia Tanah Kejaksaan Agung menyatakan sertifikat mereka cacat hukum.
Ritual adat ini dianggap suci dan sakral, melibatkan penyembelihan hewan kurban sebagai simbol sumpah mempertahankan hak hingga titik darah penghabisan. “Kami siap mati, darah sudah diteteskan ke tanah ini. Siapapun yang menyerobot tanah ini akan berhadapan dengan jiwa leluhur kami dan Tuhan Yang Maha Adil,” tegas Mikael Mensen, salah satu anggota keluarga.
Jon Kadis, penasihat hukum keluarga, menegaskan bahwa ritual ini adalah bentuk perlawanan spiritual terhadap ketidakadilan. “Ini bukan hanya soal tanah, tetapi juga kehormatan budaya dan keadilan bagi masyarakat adat Manggarai,” ujarnya.
Ritual adat ini menunjukkan bahwa perjuangan melawan mafia tanah tidak hanya dilakukan secara hukum, tetapi juga melalui nilai-nilai budaya dan doa kepada Sang Pencipta.***