Ad image

PERSPEKTIF MEMBANGUN ALA DINASTI

Redaksi
2 Min Read

RADAR BLAMBANGAN.COM, | BANYUWANGI, – Dinasti kekuasan dibangun atas dasar garis keturunan atau hubungan kekerabatan. Dinasti kekuasan bersinggungan atas peran serta “sponsor” dalam perpolitikan yang berkembang, dimana “politik transaksi dan blantik” mewarnai dalam “pencalonan sang calon pemimpin Dinasti”

- Advertisement -
Ad image

Pemimpin Dinasti, akan memoles dan dinarasikan, sosok yang “pantas”, sejatinya ketidakmampuan, tapi dipaksakan, supaya kalau terpilih, skema skema “jahat” manipulatif, koruptif dan jejak dokumen masa sebelumnya dapat diamankan/dihilangkan.

- Advertisement -
Ad image

Kedinastian, tidak berfikir lagi, tentang rekam jejak atau proses objektif, menjabat dengan “penuh pencitraan” karena akses dan loby-loby kekuasaan dan jubel” pencitraan tidak seiring sejalan dengan “indikator capaian” yang bisa dipesan dengan mengutak-atik. Kalau bisa dengan “propganda” ataupun “media darling”. Mengajak mereka yang mau jadi “jongos ataupun buzzer” dengan secuil daging hasil korupsi, sudah merasa “happy”, siap menjadi “anjing penjaga sang tuan”.

Pemimpin dinasti, hanya menjadikan suatu daerah memjadi “tirani”. Memilih para punggawa, tanpa dasar kemampuam dan kapabilitas. Siapa yang mampu melayani dan menjilat, akan diberikan tempat dan jabatan, mengesampingkan meritokrasi dan kelayakan.

Kedinastian, menjadikan demokrasi menjadi mati dan harapan kosong, kepada rakyatnya, hanya janji janji politik pada saat kampanye. Konsep dan strategi pembangunan dan kemajuan kesejahteraan, hanya sebuah “retorika”, yang terjadi “bancakan apbd, aset sda” kelompok-kelompok triad, yang muda dibenturkan oleh penguasa kepada mereka yang membuat gerah kekuasaan.

Beban atas kerusakan tatanan sosial dan demokrasi, hanya menjadikan masyarakat terpolarisasi, berkata pemimpin kami hebat, padahal saudara-saudaranya hidup dalam keterbelakangan kemiskinan, kesulitan dalam harapan bantuan makan.

Dinasti hanya meninggalkan sejarah kelam, yang berulang, dinasti menjadikan peradaban dan kondisi sosial tetap saja tidak beranjak signifikan. Kepemimpinan Dinasti menjadikan anak-anak bangsa yang cerdas, pintar berakhlak, hanya dijadikan penonton. Karena Kedinastian, tidak akan pernah menghargai keilmuwan, filosopy, pandangan idelism. Kedinastian hanya berfikir bagaimana kelompoknya tetap berpestapora, diatas penderitaan.

Andi Purnama

Share This Article
Leave a comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *



Math Captcha
− 7 = 2