RADAR BLAMBANGAN.COM, | Perubahan kondisi lingkungan yang diakibatkan alih fungsi lahan area hulu kelerengan, dari tanaman berkambium ke tanaman hortikultura jenis sayuran dan buah, menghawatirkan masyarakat Kampung Anyar sampai Ujung Kampung Lawas. Masyarakat resah sewaktu-waktu terjadi banjir yang menyebabkan kerugian harta benda, tanah pertanian, peternakan dan usaha perikanan. Seperti yang pernah terjadi sebelumnya.
Wilayah Kampung Anyar, sejak masifnya penebangan guna bukaan lahan di beberapa area perkebunan, mendapati titik sumber air menghilang dan kualitas yang menurun, keruh dan tidak layak konsumsi. Sedangkan Ujung Kampung Lawas (Kampung Mandar, Ujung, Kertosari, Lateng, Sikowidi) telah mengalami banjir parah akibat limpasan air hulu, yang aliranya cepat sampai area hilir.
Belum lagi kerusakan infrastruktur seperti jalan maupun drainase menyebabkan biaya yang sangat mahal dalam upaya perawatan dan perbaikannya.
Perambahan hulu, sudah sangat masif, karena pemegang Hak HGU Perkebunan, mengambil keuntungan dari pengelolaan jangka pendek. Ketidakmampuan badan usaha, mengelola tanaman keras, sebagai komuditas keuntungan jangka panjang, mengubah bentang alam dengan cara terbuka dengan mengganti tanaman semusim dengan tanpa tegakan, sehingga tidak ada lagi perlindungan lapisan humus terkikis oleh datangnya air hujan. Sedimentasi yang besar terbawa melalui sungai sungi terbawa hanyut dengan material batu dan tanah, menjadikan pendangkalan dan perubahan karakteristik sungai.
Perubahan tata ruang hulu yang masif, sebenarnya dapat mudah terlihat dengan membuka aplikasi digawai smartphone. Pola citra pada tampilan peta, menggambarkan terangnya bukan lahan yg seharusnya vegetasi rimbun dan hujau oleh tanaman tinggi telah berganti petak-petak lahan terang terbuka. Tanaman tegakan tidak lagi menjadi pola selingan, tapi dibabat gundul dan pelanggaran atutan main yang disyaratkan. Pemegang HGU Swasta, menjelma sebagai bak “broker” yang beraktifitas sewa-menyewa dengan bukaan lahan lebih dari 50% lahan, dengan masyarakat atas kebutuhan ekonomi jangka pendek pragmatis. Integrasi pertanian, sebagai peluang potensi besar ekonomi sudah tidak memiliki upaya dan strategi membangun bersama dengan para pihak maupun Pemerintah Daerah. Dalih program ketahanan pangan, mengkambing hitamkan badan usaha melakukan kerusakan dengan menebangi pohon pohon besar yang penjaga konservasi air, lingkungan dan bio hayati, flora fauna di daerah penghasil oksigen yang menjaga faktot perubahan iklim.
Area hilir, menjadikan target bencana atas luapan air yang tidak lagi terserap pada bagian hulu sungai di daerah ketinggian. Proses pembangunan yang dilakukan pemerintah dalam fisik drainase, mengecilkan aliran aliran, tidak dapat lagi menampung demensi basah yang dibutuhkan. Kualitas pembangunan hanya berfokus pada “keproyekan” dengan mutu kualitas rendah tanpa landasan fundamental perencanaan dan pengawasan menambah bencana banjir dalam pola dan periode semakin rentang pendek yang terjadi pada bagian hilir Kota Banyuwangi.
Aspek penegasan Tata Ruang, untuk mengembalikan pada tatanan awal membutuhkan jangka waktu tidak sebentar. Pohon besar yang ditebang yang berusia ratusan tahun, tidak bisa digantikan fungsinya dengan penanaman pohon reboisasi yang kecil dan rentan mati lalu dibiarkan gersang dan tetrbuka. Bencana alam dapat direduksi, jika hukum yang diterapkan effektif dan tidak berpihak. Yang kecil ditindak, pelanggaran korporasi dibiarkan. Ruang hutan dan penyangga, ruang sempadan sungai, ruang sempadan pantai, di Banyuwangi terjadi banyak pelanggaran, namun tidak mudah ditindak karena “beking penguasa/dekengan pusat” menjadikan lemahnya penegakan hukum. Fungsi penataan ruang hanya berani pada masyarakat kecil, namun “takut” pada kelompok tertentu yang memberikan potensi bencana luas, pada kualitas hidup sebagian besar rakyat Kampung Anyar dan Kampung Lawas.***