
RADAR BLAMBANGAN.COM. | Lumajang, 01 -06-2025 – Dunia pendidikan Kabupaten Lumajang kembali diguncang oleh dugaan praktik pemotongan Dana Alokasi Khusus (DAK) 2024 yang dialami oleh sejumlah kepala sekolah dasar penerima bantuan tersebut. Berdasarkan informasi yang dihimpun, potongan sebesar 3% diduga diminta langsung oleh pihak Dinas Pendidikan, meskipun kepala sekolah seharusnya hanya bertindak sebagai pengawas, bukan ketua kelompok masyarakat (pokmas) dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan sarana dan prasarana.
Informasi yang dihimpun menyebutkan, pertemuan para kepala sekolah penerima DAK 2024 sempat digelar di SD Negeri Ditotrunan. Dalam pertemuan itu, awalnya disampaikan adanya permintaan potongan sebesar 4%, namun karena adanya keberatan dari sejumlah kepala sekolah, jumlah potongan diturunkan menjadi 3%.
Pak ( S ), yang disebut-sebut sebagai koordinator pengumpulan dana potongan tersebut, membenarkan adanya pungutan tersebut. Ia mengakui bahwa potongan 3% itu kemudian dikumpulkan dan diserahkan secara tunai kepada ( R ), yang diketahui bertugas di bidang sarana dan prasarana (sarpras) Dinas Pendidikan Kabupaten Lumajang.
“Awalnya memang 4%, tapi karena kepala-kepala sekolah keberatan, akhirnya jadi 3%. Setelah semuanya sepakat, pada termin ke dua uang dikumpulkan dan diserahkan ke Pak ( R ), secara tunai, ” ungkap Pak ( S ) ketika di temui awak media ( 26-05-2025 ).
Namun, setelah kasus ini mulai ramai diperbincangkan dan diduga mulai terendus oleh pihak luar, kurang lebih setengah dari dana yang telah dipotong tersebut dikabarkan dikembalikan. Meski demikian, potongan untuk keperluan banner, prasasti, dan laporan pertanggungjawaban (SPJ) tetap diberlakukan.
Menanggapi hal ini, Romli, selaku Sekretaris LSM DPD Gerakan Masyarakat Adil Sejahtera (GMAS) Lumajang, mengecam keras praktik tersebut. Ia mendesak aparat penegak hukum untuk segera turun tangan dan melakukan penyelidikan menyeluruh terhadap dugaan penyalahgunaan dana DAK ini.
“Ini bukan sekadar pelanggaran administrasi, tapi sudah masuk ke ranah pidana. Dana pendidikan seharusnya dimanfaatkan sepenuhnya untuk pembangunan dan kepentingan siswa, bukan dipotong untuk kepentingan oknum,” tegas Romli.
Sementara itu, Misdiyanto, S.H., dari Tim Hukum Forum Jurnalis Independen (FORJI), menyayangkan adanya praktik semacam ini di dunia pendidikan.
“Jika benar kepala sekolah diminta memberikan potongan dana, padahal mereka hanya sebagai pengawas, maka ini bisa dikategorikan sebagai tindakan penyimpangan. Apalagi jika dana diserahkan secara tunai tanpa dasar yang jelas, ini patut didalami aparat penegak hukum,” tegas Misdiyanto.
Permintaan potongan sebesar 3% oleh sarpras (sarana dan prasarana) atau kepala dinas kepada kepala sekolah SD yang mendapatkan Dana Alokasi Khusus (DAK), meskipun kepala sekolah hanya sebagai pengawas dan bukan ketua kelompok masyarakat (pokmas), dapat dikategorikan sebagai tindakan pungutan liar (pungli) dan berpotensi melanggar hukum, baik dari sisi administrasi negara maupun pidana korupsi.
Analisis hukumnya:
- Tinjauan Hukum Positif (Peraturan Perundang-undangan)
a. UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pasal 12 huruf e menyatakan: “Setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaan, memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri, dipidana…” 👉 Potongan 3% tanpa dasar hukum jelas bisa dikategorikan sebagai tindakan menyalahgunakan jabatan untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok.
b. Permendagri No. 130 Tahun 2018 dan Peraturan Teknis DAK Fisik
Dana DAK harus dikelola secara transparan, akuntabel, dan bebas dari pungutan liar.
Jika kepala sekolah hanya sebagai pengawas, maka bukan wewenangnya untuk memberikan potongan ke siapa pun, dan tidak boleh diminta potongan.
- Tinjauan Etika dan Administrasi
Kepala dinas atau pihak sarpras yang meminta potongan tersebut telah menyalahgunakan jabatan.
Hal ini juga bertentangan dengan kode etik ASN (Aparatur Sipil Negara) dan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). - Status Kepala Sekolah
Kepala sekolah, meskipun hanya sebagai pengawas kegiatan DAK, tetap tidak memiliki kewajiban untuk membayar “potongan”.
Jika diminta untuk menyerahkan potongan, kepala sekolah berhak menolak, karena tindakan tersebut tidak diatur dalam regulasi resmi. - Potensi Sanksi
Bagi yang meminta (kepala dinas/sarpras):
Sanksi pidana (korupsi, gratifikasi, pungli)
Sanksi administrasi/etik ASN
Bagi yang memberi (kepala sekolah):
Bisa dianggap turut serta jika sadar dan tetap memberikan uang
Namun biasanya dilihat dari unsur tekanan, kewenangan, dan keterlibatan
Ia juga menambahkan bahwa FORJI akan mengawal persoalan ini agar tidak terjadi lagi praktik semacam itu di kemudian hari, terutama di sektor pendidikan yang seharusnya menjadi contoh transparansi dan akuntabilitas.
Bersambung…
( Uzi )